Hipotesis Pemerolehan Bahasa

Pendahuluan
Proses pemerolehan bahasa pada seorang anak merupakan masalah yang sangat menarik dikaji dalam bidang psikolinguistik. Pemerolehan bahasa (language aquisition) berhubungan dengan proses penerimaan bahasa dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertama atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa harus dibedakan dengan pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa anak saat mereka mempelajari bahasa kedua, setelah mereka memperoleh bahasa pertamanya.


Ada dua proses yang terjadi saat seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa secara langsung tanpa disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat terjadinya proses performansi yang terdiri atas dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan. Kedua proses itulah yang akan menjadi kemampuan linguistik seorang anak. Hal itu sejalan dengan teori Chomsky yang mengungkapkan tiga kompetensi dalam pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan semantik, sintaksis, dan fonologi. Dalam tulisan ini penulis hanya membahas mengenai hipotesis pemerolehan bahasa dan proses pemerolehan semantik pada seorang anak.

Hipotesis Pemerolehan Bahasa
Ada beberapa hipotesis yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak antara lain hipotesis nurani, tabularasa, dan kesemestaan kognitif[1]. Penulis akan membahas ketiga hipotesis tersebut di bawah ini.

Hipotesis Nurani
Hipotesis nurani mengatakan bahwa setiap manusia yang berbahasa mampu memahami dan membuat kalimat dalam bahasanya karena telah “menuranikan” tata bahasanya menjadi kompetensi bahasanya dan juga menguasai kemampuan performansi bahasanya. Anak-anak memperoleh kompetensi dan performansi bahasanya dalam bahasa pertama mereka, dan karena tata bahasa setiap bahasa terdiri dari komponen sintaksis, semantik dan fonologi maka ketiga komponen inilah yang pertama dikuasai anak.

Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa anak-anak (Lenneberg, 1967, Chomsky 1970)[2]. Di antara hasil pengamatan tersebut adalah sebagai berikut:
  • Semua anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya apabila ‘diperkenalkan’ dengan bahasa ibunya dan tidak diasingkan dari kehidupan bahasa ibunya.
  • Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan. Pemerolehan bahasa terjadi secara merata baik untuk anak cerdas maupun tidak cerdas.
  • Kalimat yang didenganr anak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap dan sedikit jumlahnya.
  • Bahasa tidak bisa diajarkan terhadap makhluk lain
  • Proses pemerolehan bahasa anak-anak erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa anak.
  • Struktur bahasa yang rumit, kompleks, dan bersifat universal mampu dikuasai anak-anak dalam waktu singkat yaitu dalam waktu tiga atau empat tahun saja.

Hipotesis nurani juga dibedakan  menjadi dua macam hipotesis, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme. Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisasi manusia. Hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum atau mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman.

Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu dinamakannya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya.



Jadi, yang perlu bagi LAD adalah masukan linguistic. Faktor-faktor non-linguistik tidak begitu penting dalam pemerolehan bahasa. Namun, dalam perkembangannya, kajian pemerolehan bahasa sudah memperhatikan tiga unsur yang dulu kurang diperhatikan LAD, yaitu (1) korpus ucapan, (2) peranan semantic dan (3) peranan perkembangann kognisi.

Dalam perkembangannya hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme lebih dikenal dengan versi kuat hipotesis nurani dan kesemestaan linguistic lemah. Menurut versi kuat, keupayaan linguistic tidak menggambarkan keupayaan kognitif sama sekali. Sebaliknya menurut versi lemah, keupayaan kognisi umum  mengandung juga keupayaan linguistik. Salah satu teori yang yang mendukung versi lemah adalah teori kognisi Jean Piaget. Namun, seiring dengan perkembangan neurolinguistik pendapat tersebut mulai ditinggalkan karena manusia memiliki korteks yang khusus untuk berbahasa.

Dampak dari kajian neurolinguistik adalah mengemukanya kembali versi kuat hipotesis nurani namun dengan penekanan pada bidang semantik. Hal yang penting dikaji bukan hanya ucapan-ucapan saja melainkan pesan, amanat atau konsep yang terkandung dalam ucapan tersebut. Misalnya, ketika seorang anak mengucapkan ‘mimi’ maka yang terkandung dalam ujaran tersebut bisa ‘Saya minta minum’ atau ’Mari kita minum’ sesuai dengan konteksnya. Itulah yang oleh Bloom dikenal dengan istilah holofrasis. Ucapan holofrasis ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru lebih menekankan pada aspek semantik.

Hipotesis Tabularasa
Hipotesis ini dikemukakan oleh John Locke, seorang tokoh empirisme, yang menyatakan bahwa manusia waktu dilahirkan seperti kertas kosong. Kemudian, teori ini disebarkan oleh Watson seorang tokoh aliran behaviourisme. Menurut teori tabularasa, semua pengetahuan bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik. Hal ini sejalan dengan aliran behaviourisme yang menganggap pengetahuan linguistik dibentuk dengan pembelajaran S-R (Stimulus - Respons). Cara pembelajaran S-R yang terkemuka antara lain pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi.

Skinner menjelaskan berbicara merupakan satu respon operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam dan dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal ini Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respon bahasa yang hamper serupa dengan ucapan, yaitu mands, tacts, echois, textuals, dan intra verbal operant.

Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Hipotesis yang diperkenalkan oleh Piaget ini telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak. Menurut teori kesemestaan kognitif, bahasa diperolah berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang disekitarnya. Urutan pemerolehan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :
  • Antara usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya;
  • Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memaski tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun;
  • Setelah tahap represntasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir, maka bahasa anak-anak semakin berkembang dn dengan mendapat nilai-nilai sosialnya.
  • Menurut Piaget, ucapan holofrasis pertama selalu menyampaikan pola-pola yang pada umumnya mengacu pada anak itu sendiri. Oleh karena itu, Sinclair-de Zwart merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa sebagai berikut:
  • Kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi;
  • Jika gabungan bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain;
  • Setelah tahap kedua muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat dan objek.

Dari penjelasan di atas bisa diketahui bahwa hipotesis kesemestaan kognitif sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme. Perbedaannya terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu yang berbeda yang saling mempengaruhi: hipotesis kesemestaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis nurani mekanisme oleh linguistik modern.

Daftar Bacaan

[1] Abdul Chaer, Psikolingusitik: Kajian Teoretik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 168-178
[2] Ibid, hlm.168

LihatTutupKomentar