Pemertahanan Bahasa Jawa dalam Ranah Keluarga Pada Masyarakat Mulitibahasa di Daerah Serpong
PEMERTAHANAN BAHASA JAWA DALAM RANAH KELUARGA PADA
MASYARAKAT MULTIBAHASA DI DAERAH SERPONG
Pendahuluan
Peran
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pada ranah keluarga perlahan-lahan mulai
digantikan oleh bahasa Indonesia. Berdasarkan pengamatan, masyarakat kaum urban
terlihat ada perubahan sikap terhadap bahasa Jawa. Kaum urban sekarang enggan
mengajarkan anak-anaknya bahasa ibu mereka yaitu bahasa Jawa, Akibatnya, banyak
keluarga muda di daerah perkotaan memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama bagi anak-anak mereka. Hal ini biasanya terjadi pada
keluarga-keluarga dengan latar belakang pendidikan tinggi dan sosial ekonomi
menengah ke atas. Di samping itu, komunitas tempat keluarga tersebut tinggal
juga menjadi penyebabnya.
Sikap
masyarakat yang demikian, merupakan suatu pertanda baik bagi keberadaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, kecenderungan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama merupakan pertanda buruk bagi kelestarian
bahasa Jawa. Terlebih bagi generasi muda yang nantinya menjadi penutur bahasa
Jawa.
Bahasa
Jawa memiliki fungsi tersendiri sebagai identitas dan jati diri sebagai orang
Jawa agar tidak kehilangan Jawanya. Bahasa Jawa hidup berdampingan dengan
bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia. Pergeseran bahasa Jawa dalam masyarakat
Jawa menjadi ancaman keberadaan bahasa Jawa sebagai identitas dan jati diri
orang Jawa. Pemertahanan bahasa Jawa harus dilakukan oleh masyarakat Jawa sendiri agar identitas dan jati diri
dari masyarakat Jawa tetap terjaga.
Masyarakat
Kota Serpong, khususnya di Perumahan Griya Suradita Indah merupakan masyarakat
yang heterogen. Letak geografis yang berada di pinggiran kota menyebabkan tingginya mobilitas masyarakat
tersebut. Bahasa Jawa masih dominan digunakan dalam ranah keluarga sebagai
bahasa ibu, termasuk di keluarga penulis sendiri. Oleh karena itu menarik untuk
dikaji bagaimana penggunaan bahasa Jawa pada ranah keluarga dan faktor yang
menyebabkan terjadinya pemertahanan bahasa Jawa tersebut.
Kajian Teoretis
Multilingualisme
Mutilingualisme
sebagai sumber interaksi dalam sebuah
masyarakat yang di dalamnya terdapat bahasa dengan variasi tugas yang berbeda
selama aplikasi dalam masyarakat (Gumperz, 1964: 15). Lebih lanjut Gumperz
(1964: 36) mengatakan bahwa multilingualisme merupakan fenomena stabil
masyarakat sebagai tarik ulur budaya serta variasi bahasa yang dipertahankan
dalam suatu masyarakat.
Banyak
perspektif fenomena multilingualisme
yang terjadi pada komunitas dengan hubungan bentuk bahasa yag bervariasi serta
fungsi sosial yang menjadi latarbelakang varian bahasa. Penutur lebih sering
menggunakan variasi bahasa dalam situasi berbeda, menyebabkan setiap bahasa memiliki
kemungkinan untuk ditinggalkann bergantung seberapa sering situasi yang
berhubungan dengan bahasa itu dilakukan. Varian-varian bahasa hidup secara berdampingan dalam masyarakat
multilingual, yang mana variasi-variasi bahasa itu memiliki peranan tertentu
yang harus dimainkan (Fasold, 1984:34).
Sikap
penutur dalam masyarakat multilingual pada umumnya menggunakan aspek superior,
lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Bahasa dengan aspek inferior
lebih cenderung untuk ditinggalkan, bahkan ada yang sampai ditolak
keberadaannya. Banyak tingkat masyarakat terpelajar mendorong agar bahasa
inferior tidk digunakan, walaupun mereka menggunakan bahasa itu dalam
percakapan sehari-hari. Perhatian tinggi terhadap bahasa superior ditekankan
oleh manusia sebagai bentuk kesesuaian untuk fungsi-fungsi yang mengesampingkan
adanya kemampuan kriteria sebuah bahasa dalam situasi tertentu (Fasold,
1984:50).
Bentuk
bahasa superior dalam masyarakat multilingual merupakan suatu bahasa yang
ditetapkan sebagai standar formal. Sebuah bahasa yang cenderung dilafalkan baik
dalam sosial maupun kaidah untuk penggunaan bahasa yang benar adalah bahasa
superior. Penulisan bahasa inferior sulit karena kurangnya kaidah pelafalan
yang ditetapkan, tetapi dalam banyak hal jarang individu ingin menulis dengan
bahasa inferior (Fasold, 1984:52).
Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan
bahasa sebagai defense terhadap
adanya tendensi pergeseran bahasa. Kesadaran akan suatu bangsa untuk
mempertahankan identitas, sebuah sistem nilai untuk bangsa. Pemertahanan
diperlukan ketika terdapat tendensi dalam sebuah pergeseran bahasa. Sebagai
salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat
menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan
prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan
oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena
pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan
bahasa Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalangnya
bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya
tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua
(B2) yang lebih dominan.
Konsep
lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1) pemertahanan
bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak
dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat
multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan
pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan
bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan. Ketidakberdayaan
sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama.
Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga
mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan
dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai
contoh kajian semacam itu dilakukan oleh Gal (1979) di Australia dan Dorial
(1981) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan
tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa
baru (B2) dalam wilayah mereka sendiri.
Pergeseran
dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah pergeseran
dan pemertahanan bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang
dilatarbelakangi oleh situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab
utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan
keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan
ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya adalah jumlah penutur, konsentrasi
pemukiman, dan kepentingan politik (Sumarsono 1993: 3).
Pada
umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi penyebab bergesernya
bahasa, karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak
didiknya yang semula monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya
meninggalkan atau menggeser bahasa pertama (B1) mereka. Faktor lain yang banyak
oleh para ahli sosiolinguistik adalah faktor yang berhubungan dengan faktor
usia, jenis kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain. Kajian tentang berbagai kasus tersebut di
atas memberikan bukti bahwa tidak ada satupun faktor yang mampu berdiri sendiri
sebagai satu-satunya faktor pendukung pergeseran dan pemertahanan bahasa.
Dengan demikian, tidak semua faktor yang telah disebutkan di atas mesti
terlibat dalam setiap kasus.
Metode Penelitian
Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Adapun pendekatan
kualitatif adalah pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain dengan cara deskripsi bentuk kata-kata dan bahasa
(Moleong 2005: 6). Mahsun (2005: 235)
juga menyatakan bahwa pendekatan kualitatif merupakan usaha memahami fenomena
sosial kebahasaan yang diteliti. Penelitian kualiatif ini merupakan usaha
memahami fenomena kebahasaan lain yang tengah diteliti. Penelitian
kualitatif sifatnya deskriptif karena
hasil penelitian berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati (Subana
2001:17). Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini
karena data berupa percakapan pada ranah keluarga peneliti di Kota Serpong yang
bersifat deskripsi fenomena kebahasaan.
Pemertahananan Bahasa Jawa
Bahasa
Jawa oleh penulis digunakan secara dominan dalam ranah keluarga. Baik itu
kepada orang tua, istri, anak, dan sanak keluarga. Khusus untuk masyarakat,
bahasa Jawa hanya digunakan kepada sesama warga yang berasal dari suku Jawa.
Bahasa
Jawa yang digunakan kepada orang tua adalah ngoko
alus. Tingkat tutur karma lugu tuturannya terdiri atas karma inggil, karma andhap,
dan ngoko. Tingkat tutur ini
tingkatannya lebih rendah dibandingkan krama
alus. Namun, jika dibandingkan ngoko,
tingkatannya lebih tinggi. Ketika bercakap dengan orang tua, penulis biasa menggunakan
basa ngoko, namun untuk penyebutan
hal-hal tertentu menggunakan krama inggil.
Misalnya nama, diganti dengan kata panjenengan.
Selain itu, juga kata-kata kerja yang ditujukan untuk kedua orang tua biasanya
di-krama inggil-kan. Kata-kata itu
seperti dhahar, sare, siram, dan
lain-lain. Pemilihan tingkatan ngoko alus
oleh penulis lebih dikarenakan pembiasaan sejak kecil. Di samping itu,
pemakaian ngoko alus juga lebih
menambah kesan akrab namun tetap sopan. Antara penulis dan orang tua dapat
terjalin komunikasi yang baik namun tetap mengedepankan unsur kesopanan di
dalamnya. Artinya, anak harus tahu batas-batas kesopanan yang harus dilakukan
untuk kedua orang tua.
Bahasa
Jawa yang digunakan kepada sanak keluarga dibedakan menjadi dua macam. Kepada
sanak keluarga yang lebih tua atau dituakan menggunakan bahasa ngoko alus, sedangkan kepada yang lebih
muda menggunakan bahasa ngoko. Penggunaan
bahasa ngoko alus kepada keluarga
yang lebih tua atau dituakan menunjukkan kesan hormat. Bagi orang Jawa, ukuran
tua bukan dilihat dari umur saja melainkan garis keturunan orang tersebut. Faktor
ini juga menjadi penentu kepantasan dan ketidakpantasan dalam berbicara.
Bahasa
jawa yang digunakan kepada nenek adalah krama
alus. Pemilihan bahasa ini sudah diajarkan orang tua kepada penulis sejak
kecil. Meskipun kadang bercampur dengan krama
lugu, namun penulis tetap sebisa mungkin menjaga kesopanan lewat bahasa
yang halus. Penggunaan sapaan panjenengan,
kata kerja menggunakan krama alus,
serta kata ganti diri sendiri juga diperhalus. Inilah yang membedakan bahasa
penulis ketika berbicara kepada orang tua dan nenek. Hal itu juga berawal dari
pola pembiasaan.
Bahasa
jawa yang digunakan kepada istri dan anak adalah ngoko. Hampir semua bahasa
keseharian dalam kelarga menggunakan ngoko.
Namun, istri ketika menyebut penulis dengan sapaan sampeyan. Selain itu, pengalusan kata juga dilakukan untuk
kata-kata kerja seperti mangan
diganti maem, turu diganti tilem, dll. Terkadang
juga terjadi campur kode dalam percakapan keseharian. Biasanya campur kode
dilakukan untuk menghindari kata-kata yang ketika diucapkan menimbulkan kesan
kurang sopan sehingga lebih baik menggunakan bahasa Indonesia.
Berbeda
lagi ketika mengajarkan anak berbicara. Usia yang belum 2 tahun membuat penulis
mengajarkan anak untuk berbahasa Jawa minimal ngoko alus dalam keluarga. Di samping itu, anak juga dikenalkan
dengan ragam bahasa karma alus. Dikenalkan juga kapan digunakan dan kepada
siapa ragam bahasa itu digunakan. Memang, penulis memiliki keyakinan jika
bahasa ibu adalah bahasa pertama yang harus diajarkan kepada anak. Bahasa ibu
adalah bahasa sumber bagi anak untuk mengenal bahasa yang lain. Penulis juga
berkeyakinan jika anak tidak akan kesulitan mempelajari bahasa kedua karena
berada dilingkungan yang heterogen. Lingkungan urban yang terdiri atas
multibahasa seperti Jawa, Sunda, dan Indonesia.
Ketika
berinteraksi dengan masyarakat penulis lebih sering menggunakan bahasa
Indonesia. Namun, ketika bertemu sesama suku Jawa lebih sering dan nyaman
menggunakan bahasa Jawa. Kesan akrab, kedekatan emosional, senasib
sepenanggungan biasanya akan terasa saat bercakap dengan bahasa Jawa. Mitra
tutur sesama masyarakat jawa pun biasanya melakukan hal yang sama.
Faktor Penyebab Terjadinya
Pemertahanan Bahasa Jawa
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pemertahanan bahasa Jawa pada
keluarga penulis. Faktor itu antara lain: 1) keyakinan, 2) kesantunan, 3) demografis,
dan 4) loyalitas. Faktor-faktor tersebut akan diuraiakan sebagai berikut.
Keyakinan
berhubungan dengan kepercayaan bahwa bahasa ibu adalah yang pertama dan utama
yang harus diajarkan kepada anak. Bahasa ibu akan menuntun anak mempelajari
bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya. Selain itu, menanamkan bahasa Jawa juga
sebagai wujud kepedulian kepada kelangsungan bahasa. Jika bukan kita yang
mengajarkan kepada anak kita lalu siapa lagi. Hidup sebagai kaum urban di perkotaan
dalam masyarakat bahasa yang majemuk harus mempunyai sikap. Apakah larut dalam
budaya yang menggampangkan atau memilih action
meskipun sedikit merepotkan.
Penulis
juga berkeyakinan bahwa bahasa Jawa memiliki derajat kesantunan dan keluhuran
yang berguna dalam hidup sosial kemasyarakatan. Bahasa jawa kaya akan kosakata
yang beragam. Masing-masing kosakata tersebut memiliki makna dan tingkatan yang
berbeda serta penggunaan yang berbeda pula. Bahasa Jawa dengan tegas memberi
rambu-rambu pemakaian bahasa yang harus ditaati oleh penuturnya.
Faktor
ketiga, faktor demografis penulis yang
berada dalam masyarakat multietnis dan multi bahasa. Demografis yang
demikian di satu sisi memberi keuntungan namun di sisi lain menjadi boomerang
bagi anak. Dalam kondisi seperti itu penting bagi orang tua untuk mengenalkan
bahasa sukunya, selain bahasa Indonesia. Jadi, ketika dewasa anak tidak merasa
canggung untuk menggunakan dua bahasa yang berbeda.
Faktor
terakhir adalah loyalitas. Sampai saat ini, penulis masih merasa bahwa bahasa
Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang harus diajarkan secara turun-temurun. Penulis
juga merasa tergugah dengan fenomena semakin merosotnya penggunaan bahasa Jawa
di kalangan pemuda. Oleh karena itu, timbul rasa cinta, merasa memiliki, dan tugas
sebagai pendidik untuk tetap menjaga eksistensi bahasa Jawa di tengah gempuran
bahasa-bahasa asing yang masuk di Indonesia.
Penutup
Bahasa
Jawa oleh penulis digunakan secara dominan dalam ranah keluarga. Baik itu
kepada orang tua, istri, anak, dan sanak keluarga. Adapun bahasa yang digunakan
antara lain ngoko, ngoko alus, karma lugu, dan karma alus. Penggunaan bahasa
tersebut menyesuaikan situasi dan mitra tuturnya. Khusus untuk masyarakat,
bahasa Jawa hanya digunakan kepada sesama warga yang berasal dari suku Jawa. Adapun
faktor yang menyebabkan penulis tetap teguh mempertahankan bahasa Jawa adalah keyakinan,
kesantunan, demografis, dan loyalitas.
Daftar Pustaka
Chaer,
Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal: Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold,
Ralph. 1984. The Sociolinguistics of
Society. Oxford: Basil Blackwell.
Gumpersz.
1964. Double-Double Diglosia. India.
Mahsun.
2005. Metode Penelitian Bahasa.
Jakarta: Raja Grasindo.
Moleong,
Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Subana,
M. 2001. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah.
Bandung: Pustaka Setia.
Sumarsono.
1993. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.