Pelanggaran Prinsip Kesantunan Tuturan Pengamen di Kawasan Terminal Terboyo

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Tuturan berbahasa di lingkungan terminal kerap kali terdengar kasar. Kajian mengenai realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal ini tidak cukup hanya dengan menganalisis ragam bahasanya saja, tetapi perlu juga dari aspek sosiopragmatik dan respons para penutur bahasa Indonesia. Umumnya, banyak terjadi pelanggaran prinsip atau maksim kesantunan di kawasan terminal. Kebanyakan dilakukan oleh sopir, calo maupun pengamen jalanan.
Fenomena pengamen jalanan memang tak bisa lepas dari kehidupan terminal. Keberadaannya pun merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari hiruk pikuk terminal. Kebanyakan, para pengamen di terminal didominasi oleh kalangan remaja. Dalam kajian psikolinguistik, bahasa remaja selalu menunjukkan kekhasannya. Remaja cenderung bersikap demikian agar diakui eksistensinya oleh orang lain atau masyarakat sekitarnya.

Dalam praktek tuturan kebahasaan, banyak terjadi pelanggaran maksim kesantunan. Hal itu terjadi ketika interaksi antara pengamen dan penumpang didalam bus. Ini dikarenakan tidak terpenuhinya harapan dengan kenyataan di lapangan. Bagi para penumpang, pemberian dalam nominal kecil sudah dianggap wajar sebagai apresiasi kerja keras para pengamen. Dalam konteks seperti inilah pelanggaran kesantunan tuturan kebahasaan terjadi.

B.       Rumusan Masalah
1)      Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa para pengamen  di lingkungan terminal?
2)      Bagaimana wujud penyimpangan prinsip kesantunan yang diucapkan oleh pengamen?
3)      Bagaimana persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap realisasi kesantunan berbahasa para pengamen di lingkungan terminal ?

C.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas penelitian ini bertujuan untuk;
1)      mendeskripsikan kesantunan berbahasa para pengamendi lingkungan terminal.
2)      Mendeskripsikan bentuk penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para pengamen di lingkungan terminal.
3)    mengetahui persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa para pengamen.


D.      Manfaat penelitian
                        Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.
1)      Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data tentang penelitian bahasa-bahasa kasar.
2)      Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan yang dituturkan di lingkungan terminal.

E.       Definisi Operasional
1)      Lingkungan terminal adalah tuturan sarkasme antara calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang terjadi di terminal Cicaheum Bandung dan terminal Harjamukti Cirebon.
2)      Pengamen adalah orang mencari penghidupan dengan cara menyanyi ditempat umum.
3)      Prinsip sopan santun adalah prinsip yang terdapat dalam ilmu Pragmatik yang di dalamnya terdapat enam maksim yaitu, maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian oleh Leech.

BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Prinsip Kesantunan
    Konsep kesantunan dalam interaksi sosial dan percakapan menjadi topik penting dalam kajian sosiologi dan kajian percakapan. kesantunan, seperti diutarakan oleh Searle, merupakan bentuk tindak tutur yang tidak langsung:
“in the field of indirect illocutionary act, the area of directives is the most useful to study because ordinary conversational requirements of politeness normally make it awkward to issue flat imperative statements or explicit performatives, and we therefore seek to find indirect means to our illocutionary ends. In directives, politeness is the chief motivation for indirectness”.
   Untuk pertama kalinya, konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman melalui istilah ‘muka’ (face ) pada tahun 1967. Dua puluh tahun kemudian, Brown dan Levinson memberikan definisi mengenai ‘muka’, yaitu sebagai ‘the public self-image that every member wants to claim for himself’. Terminologi tentang kesantunan  (politeness) sendiri banyak mengandung arti. Menurut Thomas, untuk memahaminya kita perlu melihat lima fenomena yang saling berhubungan, yakni:
Fenomena yang muncul dari kesantunan  sebagai dunia nyata dilihat dari istilah ‘kesantunan’ yang diinterpretasikan sebagai hasrat untuk dihargai orang lain atau sebuah motivasi terpendam dari sikap kebahasaan seseorang.
   Hasrat dan motivasi ini hanya dapat diperoleh melalui apa yang diucapkan oleh seseorang yang kemudian direspon oleh pendengarnya.Kita bisa mengobservasi seseorang lebih santun dari yang lain, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesamaan dengan komunitas yang lainnya. Rasa hormat sering dihubungkan dengan kesantunan, meskipun merupakan fenomena berbeda.
   Rasa hormat mengacu pada rasa segan yang kita tunjukkan pada orang lain melalui nilai yang mereka miliki, seperti status, usia dsb. Kesantunan  merupakan hal yang umum untuk menunjukkan perhatian pada orang lain. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat dimanifestasikan melalui tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan, misalnya saja kita dapat mengungkapkan rasa hormat kita dengan berdiri saat seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi masuk ruangan, atau dengan menunjukkan kesantunan  dengan memegang pintu tetap terbuka saat seseorang akan keluar ruangan.
  Istilah ragam bahasa (register) mengacu pada variasi sistematik dalam hubungannya dengan konteks sosial, atau cara bahasa yang kita gunakan untuk berbicara maupun menulis disesuaikan dengan situasi.
   Situasi tertentu atau jenis bahasa yang digunakan maupun hubungan sosial tertentu menuntut penggunaan bahasa yang formal. Keformalan bahasa yang digunakan dapat bermanifestasi dengan pilihan bentuk bahasa yang formal, penghindaran interupsi, dll.
Seperti halnya dengan rasa hormat, register hanya memiliki hubungan yang sedikit dengan kesantunan  . Register sendiri merupakan fenomena nyata dari sosiolinguistik, yaitu penjelasan bentuk-bentuk kebahasaan yang biasanya muncul pada situasi tertentu.
     Banyak studi mengenai kesantunan  difokuskan pada level realisasi ujaran . Walter (1979) mendefinisikan fenomena ini sebagai cara menginvestigasi seberapa banyak kesantunan ditekan dari strategi tindak tutur. Fenomena ini melihat kesantunan  dalam tingkat permukaan, yakni menekankan pada penggunaan bentuk bahasa dari tindak tutur itu sendiri.
       Pada tingkat pragmatic ini, kesantunan  dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh pembicara untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, penggunaan bentuk bahasa tertentu secara kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara.

B.  Teori Kesantunan
Konsep kesantunan  ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan  berbahasa, yaitu:
1.Teori Relevansi
Teori ini dikembangkan oleh Sperber dan Wilson pada tahun 1989. Teori ini mempunyai satu bidal (maksim), yaitu prinsip relevansi, antara pembicara dan mitra bicara agar dapat terjalin komunikatif otensif. Teori ini berkaitan erat dengan proses kognitif seseorang dalam penerimaan pesan serta bagaimana manusia dapat dengan mudah dimengerti, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang ada dalam pesan. Dalam setiap komunikasi tidak boleh ada paksaan bagi kedua pihak untuk memberi info secukupnya saja atau harus mengerti perbedaan makna yang dikatakan dengan maksud pembicara.

2. Prinsip Sopan Santun
Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah bidal (maksim) yang memiliki kesamaan dengan prinsip - prinsip kerja sama (Cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice.

3. Prinsip kesantunan Rasional dan Muka
 Brown dan Levinson (dalam Wardhaugh: (1997:272) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan,dan ketidaklangsungan. Konsep ‘muka’ sendiri digunakan pertama kali tahun 1876 sebagai terjemahan dari bahasa Cina ‘dui lian’. ‘Muka’ di sini memiliki makna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’.
Goffman, yang mempopulerkan konsep ‘muka’ pada tahun 1967, memberikan definisi ‘muka’ sebagai: “.....the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume he has taken during a particular contact. Face in an image of self delineated In terms of approved social attributes—albeit an image that others may share, a when a person makes a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself”.
Menurut Brown dan Levinson, ada beberapa tindak ilokusi tertentu yang berpotensi mengancam atau merusak ‘muka’ orang lain. Tindakan ini disebut ‘face- threatening acts’ (FTAs). Untuk mengurangi FTAs ini, perlu strategi yang berbasis pada kekuasaan (power), jarak (distance), ukuran beban (rating of imposition).

4. Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle)
Dalam prinsip kerjasama, seseorang harus mengikuti beberapa maksim agar tujuan komunikasi tercapai, dan prinsip ini tidak berlaku jika percakapan dilakukan seorang diri. Hal ini dinyatakan oleh Grice :
“it may be worth noting that specific expectations or presumptions connected with at least some of the foregoing maxims have their analogues in the sphere of transactions that are not talk exchanges. I list briefly one such analog for each conversational category.”

C. Jenis Maksim Kesantunan
Sejumlah maksim yang berkaitan dengan kesantunan disebut Principle Politeness (prinsip Sopan Santun). Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech adalah:
*      Maksim kebijaksanaan (Tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekpresi kepercayaan yang memberikan keutungan untuk orang lain.
*      Maksim kemurahan hati (The Generosity Maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekpresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain.
*      Maksim Penerimaan (The Approbation Maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekpresi persetujuan terhadap orang lain.
*      Maksim kesederhanaan (The Modesty Maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri.
*      Maksim persetujuan (The Agreement Maxim). Jenis maksim ini menuntut kita untuk mengurangi ketidak setujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain.

D. SKALA KESANTUNTUNAN
Realisasasi konsep kesantunan akhirnya menyangkut apakah suatu tuturan itu lebih santun dengan adanya konsep itu penilaian dapat dilakukan pengukuran kesantutan tuturan itu di dasarkan pada suatu skala . Skala kesantunan berarti rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan kesantunansuatu tuturan. Semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin rendahlah suatu tuturan. Sebaliknya kurang santunlah suatu tuturan yang berada pada tingkatan skala kesantunan yang rendah
Ada tiga mcam skala yang dapat di gunakan untuk mengukur atau menilai kesantunan suatu tuturan berkenaan dengan bidal ketimbangrasaan prinsip kesantunan ketiga skala kesantunan itu adalah skala biaya keuntungan , skala keopsionalan dan skala ketidaklangsungan

*      Skala biaya - keuntungan
Skala biaya – keuntungan berupa rentangan tingkatan untuk menghitung biaya dan keuntungn di dalam melakukan sesuatu tindakan berkenaan dengan penutur dan mitra tuturnya. Makna skala biaya keuntungan itu adalah semakinmemberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakinkurang santunlah tuturan itu

*      Skala keopsionalan
Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk menghitung jumlah pilihan tindakan bagi mitra tutur. Makna skala keopsionalan itu adalah semakin memberikan banyak pilihan mitra tutur semakin santunlahh tuturan itu sebaliknya semakin tidak memberikan pilihan - pilihan tindakan pada mitra tutur

*      Skala ketidaklangsungan
Skala ketidaklangsungan menyangkut ketaklangsungan tuturan , skala ini berupa rentangan ketaklangsungan tuturan sebagai indikator kesaantunannya, makna ketaklangsungan adalah semakin tak langsung, semakin santunlah tutran itu, sebaliknya semakin langsung semakin kurang santunlah tuturan itu 

BAB III
METODE PENELITIAN

A.      Pendekatan Penelitian
   Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ada dua, yaitu pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Pendekatan secara teoretis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatis. Pendekatan pragmatis adalah pendekatan penelitian dalam ilmu bahasa yang mengkaji makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Cakupan dalam penelitian ini meliputi hubungan timbal balik antara jenis dan fungsi tuturan yang secara implicit mencakupi penggunaan bahasa, komunikasi, konteks dan penafsiran (Rustono 1999:4).
    Pendekatan penelitian yang kedua yaitu pendekatan secara metodologis yang terbagi menjadi dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan kualitatif yang berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa penggunaan bentuk-bentuk bahasa. Pendekatan deskriptif adalah metode yang hanya memaparkan data empiris penggunaan bahasa Tanya mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa. Berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan topik penelitian ini adalah mendeskripsi realisasi pribsip kesantunan pengamen di terminal Terboyo.

B.       Data dan Sumber Data
  Data/korpus dalam penelitian ini adalah tuturan para pengamen yang mengandung kata-kata kasar dan pelanggaran Prinsip Kesantunan Leech. Data dini diambil pada tanggal 24 Mei 2008 dengan cara mengamati tuturan para pengamen di terminal Terboyo.

C.      Metode dan Teknik Pengumpulan Data
   Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam dilakukan dengan merekam yaitu merekam penggunaan bahasa. Teknik rekam dalam penelitian ini digunakan oleh si peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informannya. (Mahsun 2007:93).
  Adapun teknik catat dilakukan dengan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi atau pengelompokkan. Data yang dikumpulkan, dan disimpan atau dicatat dalam kartu data. Pencatatan dapat dilakukan langsung ketika teknik pertama selesai (teknik simak) dan dengan menggunakan alat tulis tertentu (Mahsun 2007:93). 

D.      Metode dan Teknik Analisis Data
  Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode heuristik, yaitu jenis tugas pemecahan masalah yang dihadapi penutur dalam menginterpretasi sebuah tuturan atau ujaran (Leech 1993:16). Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini berupa mengidentifikasi tuturan pengamen jalanan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Apabila proses analisis hipotesis tidak teruji, maka akan dibuat hipotesis yang baru. Seluruh proses ini terus menerus akan berulang sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan masalah, yaitu berupa hipotesis yang teruji kebenarannya dan tidak bertentangan dengan bukti yang ada.

E.       Metode dan Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data
  Pemaparan hasil analisis ini menggunakan metode informal, yaitu perumusan data yang berbentuk tuturan dan bukan data yang berupa angka.

BAB IV
PEMBAHASAN

1. Realisasi Kesantunan Berbahasa Para Pengamen  Di Lingkungan Terminal 
Bahasa yang digunakan oleh pengamen yang ada di lingkungan terminal biasanya menggunakan tuturan bebas yang artinya tuturan para pengamen itu melakukan tuturan tanpa adanya norma - norma tuturan kesantunan pada masyarakat umumnya. Biasanya para pengamen melakukan tindak tutur kepada masyarakat yang dikategorikan tindak tutur kasar atau melebihi norma kesantunan tindak tutur bagi masyarakat, sehingga menimbulkan kesan tidak etis pada masyarakat.
Selain itu tindak tutur pada pengamen tidak semuanya menjurus kasar. Tindak tutur yang kasar itu seringkali hanya di lakukan oleh para pengamen pada sesama temannya. Saat berinteraksi dengan teman satu profesi mereka cenderung bersikap terbuka. Hal ini dilatar belakangi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah persamaan profesi. Persamaan profesi akan membuat para pengamen merasa dihargai. Tapi ini juga yang menyebabkan tuturan para pengamen banyak sekali terdapat pelanggaran terhadap norma-norma kesopanan.
Banyaknya pelanggaran prinsip kesantunan dari para pengamen ini yang menyebabkan masyarakat mempunyai  cara pandang yang berbeda terhadap pengamen jalanan. Di terminal terboyo Semarang, banyaknya pengamen di lokasi terminal menyebabkan banyaknya variasi tuturan antar pengamen. Faktanya, banyak dari para pengamen adalah warga pendatang sehingga variasi bahasa tak terhindarkan.  
Pelanggaran prinsip kesantunan para pengamen banyak dijumpai dalam tuturan bahasa Jawa. Ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Jawa merupakan bahasa sehari-hari mereka. Biasanya pelanggaran prinsip kesantunan terjadi karena adanya logat-logat khusus dalam bahasa jawa yang tidak lazim didengar. Umumnya bentuk logat tersebut adalah penyebutan nama-nama binatang atau bagian-bagian tubuh manusia. Bagian-bagian tubuh manusia yang biasa memberiakan efek negative pada tuturan antara lain mata. Penggunaannya misalnya dalam kata matamu. Sedangkan penggunaan nama hewan yang biasa melanggar prinsip kesantunan misalnya asu atau dalam bahasa Indonesia berarti anjing. Kata-kata seperti itu sepertinya telah lazim digunakan oleh sebagian besar pengamen terminal. Salah satu tujuannya adalah mereka ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang seniman jalanan.

2. Bentuk Penyimpangan Prinsip Kesantunan Yang Diucapkan Oleh Pengamen
Penyimpangan prinsip kesantunan dapat terjadi antara sesama pengamen maupun antara pengamen dengan penumpang bus. Dibawah ini adalah contoh-contoh pelanggaran prinsip kesantunan yang dilakukan oleh para pengamen.

KONTEKS 1 :
PENGAMEN MASUK KEDALAM BUS DIMANA PENUMPANG BANYAK YANG BARU MASUK BUS.
Pengamen: ya…selamat siang bapak-ibu penumpang bus SemarangSurabaya, maaf mengganggu ketenangannya sebentar……diberi kula matur nuwun,tidak diberi kula nggeh nyuwun. (24 Mei 2008; bus Sinar Mandiri)
Dalam konteks diatas pelanggaran prinsip kesantunan terdapat pada penggalang tuturan diberi kula matur nuwun,tidak diberi kula nggeh nyuwun. Tuturan tersebut secara tidak langsung mempunyai efek memaksa kepada penumpang untuk memberi. Penggalan diatas telah melampaui norma skala ketidaklangsungan. Kalimat tersebut telah menyalahi bidal ketimbangrasaan karena mempunyai efek memaksa kepada penumpang.

KONTEKS 2 :
PERCAKAPAN TIGA ORANG PENGAMEN MEMBAHAS HASIL NGAMEN BEBERAPA MENIT YANG LALU.
Pengamen 1: Asu, sepi!!!
Pengamen 2: entuk pira??
Pengamen 1: limang ewu
Pengamen 3: gopek,jack!!! (24 Mei 2008; depan ruko)

Dalam konteks percakapan diatas, pelanggaran prinsip kesantunan terlihat dalam kalimat
gopek,jack!!!. Menurut skala keoposionalan kata-kata tersebut tidak menunjukkan kesantunan. Akan lebih baik jika pengamen 3 dalam konteks tersebut mengucapkan bagi jack daripada harus mengucapkan nominal. Namun, bagi para pengamen hal-hal semacam ini sepertinya sudah lazim terjadi. Pengamen 1 mungkin tidak akan mempersoalkan ucapan pengamen 3 karena sesuatu itu dibangun dengan kebiasaan.

KONTEKS 3 :
PENGAMEN MASUK KEDALAM BUS DIMANA PENUMPANG BANYAK YANG BARU MASUK BUS.
Pengamen: ya…selamat siang bapak-ibu penumpang bus SemarangSurabaya, maaf mengganggu ketenangannya sebentar….pareng-pareng receh-recehe, mboten wonten nggeh ewonane, mboten enten meleh nggeh rokok-rokoke. (24 Mei 2008; bus Sinar Mandiri).
Pelanggaran prinsip pada konteks diatas terdapat pada penggalan kalimat pareng-pareng receh-recehe, mboten wonten nggeh ewonane, mboten enten meleh nggeh rokok-rokoke. Menurut skala kesantunan yaitu skala keoposionalan semakin banyak memberikan pilihan kepada penutur makin santun tuturan itu. Sebaliknya semakin sedikit pilihan yang diberikan maka semakin tidak santun tuturan itu (Rustono,1999:80). Pada tuturan diatas, walaupun terdapat banyak pilihan namun pilihan yang diberikan masih terkesan memaksa untuk memberi. Akan lebih santun, jika tuturan tersebut ditambah dengan menawi mboten wonten nggeh ngapuntene. Dengan adanya kalimat tersebut, maka pilihan yang diberikan akan lebih bijaksana. Sehingga tingkat kesopanan kepada para penumpang semakin tinggi.

KONTEKS 4 :
DUA ORANG PENGAMEN SEDANG BERSIAP MASUK KEDALAM BUS PENUMPANG.

Pengamen 1: Bus itu saja!
Pengamen 2: o ya…
Pengamen 1: Amplopnya pegang!!! (24 Mei 2008; bus Sinar Mandiri).

Pelanggaran prinsip pada konteks diatas terdapat pada penggalan kalimat Amplopnya pegang!!!. Menurut skala kesantunan yaitu skala Biaya – Keuntungan, semakin penutur memberikan beban sosial kepada mitra tuturnya. Sebaliknya, semakin kecil beban sosial yang dibebankan penutur kepada mitra tutur maka semakin santun tuturan tersebut (Rustono,1999:78). Tuturan Amplopnya pegang!!! Merupakan tuturan yang tidak santun karena memberikan beban kepada mitra tutur, yaitu membawa amplop dan biaya sosial yang harus ditanggung adalah turunnya harga diri mitra tuturnya.

  1. Persepsi Penyimak Bahasa Di Luar Lingkungan Terminal Terhadap Kesantunan Berbahasa Para Pengamen
Menyikapi tuturan atau penggunaan bahasa dikalangan pengamen akan memunculkan dua tanggapan yaitu tanggapan positif dan tanggapan negative. Kedua tanggapan ini bisa dilatarbelakangi oleh kondisi soisal yang berbeda, usia penyimak, kebiasaan/lingkungan dan jenis kelamin seseorang.
Bagi orang yang mempunyai latar belakang sosial yang tinggi, akan menganggap tuturan berbahasa para pengamen sangat melanggar prinsip kesantunan. Sebaliknya bagi masyarakat awam, tuturan para pengamen adalah tuturan yang wajar dan tidak perlu adanya koreksi. Kedua pandangan ini muncul akibat perbedaan pola pikir dari dua golongan yang mempunyai latar belakang berbeda.
Selain latar belakang sosial, persepsi penyimak terhadap tuturan para pengamen akan berbeda karena usia penyimak. Respon positif akan ditunjukkan oleh penyimak dengan usia remaja. Sedangkan, usia produktif akan cenderung memberikan persepsi yang negative terhadap tuturan pengamen. Bagi anak muda, tuturan pengamen akan dianggap wajar-wajar saja karena mereka dalam tahap masa perkembangan sehingga akan berpengaruh terhadap gaya bicara dan isi pembicaraan. Hal yang sebaliknya akan terjadi pada penyimak usia produktif yang beranggapan bahwa tuturan seperti itu kurang memiliki sopan santun.
Persepsi terhadap tuturan pengamen akan cenderung bersifat positif bila orang tersebut bekerja pada lingkungan yang sama. Para sopir bus mungkin akan menganggap tuturan para pengaman masih dalam batas kewajaran. Ini karena kebiasaan yang dibangun oleh sopir hampir sama dengan para pengamen jalanan. Berbeda halnya dengan persepsi karyawan pabrik yang tidak memahami lingkungan sosial para pengamen.
Jenis kelamin seseorang juga berpengaruh terhadap persepsi tentang tuturan para pengamen. Seorang dengan jenis kelamin perempuan akan lebih memakai perasaan dalam menanggapi tuturan seseoarang. Berbeda dengan lelaki yang cenderung memakai akal. Tanggapan positif akan lebih ditunjukkan oleh perempuan daripada laki-laki.

PENUTUP

  1. KESIMPULAN
1.      Realisasi tuturan pengamen dikawasan terminal Terboyo cenderung menyimpang dari prinsip kesantunan
2.      Penyimpangan prinsip kesantunan dapat diukur dengan skala kesantunan yang  meliputi skala Biaya – Keuntungan, skala Keoposional, skaladan skala Ketaklangsungan
3.      Persepsi penyimak terhadap tuturan pengamen diterminal dipengaruhi oleh faktor latar belakang sosial, usia, jenis kelamin dan lingkungan pekerjaan.

  1. SARAN
Dari kesimpulan tersepbut maka dapat menjadi saran sebagai berikut
1.      Kepada para peneliti bahasa dapat menjadikan sutau tambahan bhaan untuk di teliti tingkat penggunaan suatu tuturan kesantunan dan munculnya bhasa baru yang trejadi pada masyarakat
2.      Ditinjau dari pengamatan langsung pada lapangan kita dapat mengetahui konsep suatu tinggi rendahnya suatu tuturan dan memberikan suatu penilaian secara realatif dan di sesuaikan dengan berubah ubahnya tinggi rendahnya suatu tuturan yang terjadi di masyarakat. 

DAFTAR PUSTAKA
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Gunawan, Asim. 1996. ”Tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan penutur jati bAhasa jawa implikasinya pada usaha pembinaan bAhasa” Jakarta: Unika Atma Jaya
Gunawan, Asim. 1996. ”Tindak tutur melarangdi dalam bhasa indonesia dikalangan penutur, jati bahasa jawa. Jakarta :Bahasa Budaya
Gunawan, Asim. 1992. ”kesantunan negati dikalangan dwibahasawan indonesia Jakarta: Bahasa Budaya
Tarigan, HG. 1990. Proses Belajar Mengajar Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, Ed.Revisi,3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.





LihatTutupKomentar