Teori Pemerolehan Semantik

Semantik berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai, semantik mengandung pengertian studi tentang makna.[1] Dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik pada anak antara lain.


1. Teori fitur
Untuk dapat mangkaji pemerolehan semantik kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. Menurut salah satu teori semantik yang baru, maka dapat dijelaskan berdasarkan yang disebut fitur-fitur atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik ini.

Teori fitur mengatakan bahwa konsep terbentuk dari sekelompok unit yang lebih kecil yang dinamakan fitur. Konsep mengenai objek yang dinamakan kucing, misalnya, mempunyai sekelompok fitur yakni, (a) berkaki empat, (b) bermata dua, (c) bertelinga dua, (d) berhidung satu, (e) berkumis, (f) berbulu, (g) berwarna putih, hitam, coklat dan lainnya.[2]

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa anak-anak dapat memahami sebuah makna dari suatu konsep dengan adanya tanda-tanda atau fitur-fitur yang memudahkan ia dalam memahami konsep tersebut. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah :
  • fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
  • Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila diabandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.
  • Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.

Jadi , apabila orang dewasa mengucapkan kata-kata dalam konteks dan situasi yang yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong kanak-kanak itu memperoleh makna kata-kata itu berdasarkan bentuk, ukuran, bunyi, rasa, gerak dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu karena hanya beberapa fitur semantik yang digunakan oleh kanak-kanak untuk memperoleh makna kata pada tahap permulaan ini (antara satu -dua tahun setengah), maka penerapan berlebihan dari makna-makna ini tidak dapat dielakan; dan ini merupakan ciri khas pemerolehan makna oleh kanak-kanak.

Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini kedalam empat tahap, yaitu :

Tahap penyempitan makna kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 - 1:6 ). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut (meong) hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga (gukguk) hanyalah anjing yang ada dirumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.

Tahap Generalisasi berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 - 2:6). Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.

Tahap medan semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai lima tahun (2:6 - 5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak.

Tahap generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan ini semakin sempurna jika kanak-kanak semakin bertambah usianya. Jadi, ketika berusia antara 5 - 7 tahun mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan heawan, yaitu semua mahluk yang termasuk hewan.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kanak-kanak membutuhkan tahap-tahapan dalam memperoleh makna semantik, dan lingkungan sangat membantu kanak-kanak untuk memperoleh makna tersebut, karena dalam proses pemerolehan itu kanak-kanak menggunakan indranya. Jadi, semakin banyak kanak-kanak mengamati lingkungannya akan sangat membantu sekali dalam memperolah makna kata-kata dari suatu konsep.

2. Hubungan-hubungan gramatikal
Teori ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970), menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis.

3. Teori Generalisasi
Teori ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yaitu kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda ( kata-kata) mulai dari yang konkret sampai yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar.

4. Teori Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierswich (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitife-primitif semantik universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi manusia itu sendiri.

Daftar Bacaan

  1. Abdul Chaer, Psikolingusitik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
  2. Aminudin, Semantik, Pengantar Studi tentang Makna, Malang: Sinar Baru Algesindo, 2003.
  3. Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Manusia,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

LihatTutupKomentar